Judul film: Sunyi
Rilis di Bioskop: 11 April 2019
Produser: Manoj Punjabi
Sutradara: Awi Suryadi
Pemeran: Angga Yunanda, Amanda Rawless, Teuku Rizky, Naomi Paulinda, Arya Vascol, Unique Priscilla, Verdie Solaiman
Produksi: MD Picture dan Pichouse Films, serta kolaborasi internasional dengan Xing Xing, Studio Invictus, Mixx Entertainment, dan CJ Entertainment
Film horor Indonesia yang rilis tidak lama ini, merupakan hasil adaptasi film lawas 1998 asal Korea berjudul Whispering Corridors. Film horor garapan sutradara Park Ki-hyung itu kemudian berlanjut dengan seri lanjutannya yakni Memento Mori (1999), Wishing Stairs (2003), Voice (2005), dan yang terakhir A Blodd Pledge (2009). Meskipun hasil adaptasi, tetapi kedua film tersebut tidaklah memiliki banyak kesamaan. Justru terkesan menjadi dua film yang tidak saling terkait, dan hanya terinspirasi.
Seperti tokoh protagonis yang menjadi titik utama film, yakni Alex (Angga Yunanda) yang dalam film kerap kali mendapat panggilan Pranoto dari lingkungan sekolahnya. Di versi aslinya, tokoh utama tersebut ialah perempuan. Selain itu, hal ini juga merupakan siasat yang tepat untuk membubuhi kisah horor penuh pesan moralterlebih untuk generasi mudadengan adegan teen romance.
Pesan Moral dengan Cara Berbeda
Dalam film Sunyi ini, seperti menanggapi berita kasus bullying yang sedang mencuat ke media dalam waktu dekat. Sunyi sendiri memiliki pesan yang apik terhadap tradisi senioritas yang ada di sekolah-sekolah, dengan adanya adegan perbudakan terhadap junior dengan kasta-kasta yang digunakan. Hal ini dialami oleh Alex, sebagai peran utama yang memasuki SMA Adi Bangsa dengan tradisi senioritas yang mendarah daging dan selalu bergulir setiap tahunnya. Seolah, setelah menjadi murid dari sekolah tersebut, maka telah resmi masuk ke dalam lingkaran setan yang tak ada pintu keluarnya. Mulai dari junior yang dilarang menggunakan toilet, ke kantin, dan pergi ke perpustakaan.
Diawali dengan cerita mistis yang beredar di sekolah, tentang Cindy Sadis yang dikabarkan membully tiga junior hingga tewas.Sebuah hal menarik yang terjadi dalam film ialah, adegan dimana perbudakan junior oleh senior terjadi, justru terdapat guru yang mencontohkan kekerasan verbal kepada murid-muridnya. Ini hal menarik tentunya, ditambah dengan Kepala Sekolah yang memperingatkan dengan tegas, dan terkesan kontra dengan tradisi tersebut. Hal ini seolah membuat film berkata, bahwa untuk menghentikan aksi bullying bukan dari para siswa, tetapi oleh semua pihak.
Horor Berkesan Drama, dengan kisah yang Mainstream
Maggie (Amanda Rawless) yang menjadi tokoh utama perempuan dalam Sunyi, berperan apik selayaknya anak SMA. Bertingkah laku manis dan menarik. Sejak pertama kali datang, dikisahkan saling dekat dengan Alex yang selalu menjadi korban bullying dari tiga senior yakni Fachri (Teuku Rizky), Erika (Naomi Paulinda), dan Andre (Arya Vasco). Akibat identitas Ayah Alex—Pierre Pranoto—sebagai paranormal diketahui oleh ketiganya, akhirnya mereka yang berteman dekat memaksa Alex untuk memanggil arwah dalam rumor pembully-an Cindy Sadis.
Dari hal itulah, kemudian kemuculan jump scared ditata apik dengan dukungan sinematografi ciamik memanjakan penonton. Tidak hanya itu, selingan-selingan adegan romance itu seolah menjadi ketenangan sebelum badai. Seperti yang dilakukan saat menonton film horor, pasti akan ada sebuah insting di adegan apa hantu akan muncul. Meskipun, saat hantu muncul juga tetap akan terkejut. Setiap misteri yang berkaitan dengan tiga hantu dan misteri dalam sekolah itu dikuak dengan baik dalam tiap adegan.
Alur yang ada dalam film ini sebenarnya cukup mirip dengan alur yang ada dalam film horor Indonesia lainnya, yakni Lentera Merah—film yang menceritakan tentang klub jurnalistik sebuah universitas. Dimana hal mainstream yang dapat disimpulkan ialah, “orang yang tidak tahu apa pun atau tokoh yang tahu segalanya dalam film horor, adalah hantu yang sebenarnya.”
“Mereka datang untuk tiga hal, meminta bantuan, menyampaikan sesuatu, dan membalas dendam.”
Film berjudul Sunyi ini, sebenarnya sangat jauh dari kata sunyi itu sendiri. Di mana segala adegan diiringi dengan backsound mendebarkan, sampai-sampai memberikan kesan bahwa suara-suara itu muncul di bioskop, bukan dalam film. Ditambah dengan detail bangunan sekolah yang mengagumkan membuat film ini memiliki nilai plus.
Selain itu, setiap film pasti memberikan kesan tersendiri bagi masing-masing penonton. Dan film ini melakukannya, kesan manis yang kuat muncul begitu saja setelah film ini berakhir. Serasa menonton drama dan mengobati tiap debaran akibat jump scared di dalam film.
Oke fix, aku udah punya gambaran gimana film ini.
Karena pernah aku nonton film tentang bulliying yang berakhir pada kematian korban.
Tapi tetap aja penasaran dengan suasananya