Judul film: Jack
Rilis di Bioskop: 16 Mei 2019
Produser: M. Ainun Ridho
Sutradara: M. Ainun Ridho
Pemeran: Arief Wibhisono, Grace Tie, Eko Tralala, Eka P. Sutjianto, Aryudha Fasha, Gilang Kadir Pratama
Produksi: Air Films, Smekdors
Film Suroboyo-an yang lahir dengan 90 persen kru dan pemain merupakan warga lokal Surabaya, yang mencintai Surabaya, tentu saja. Dengan gaya bicara khas Wong Suroboyo, film ini menjadi warna di bioskop Indonesia. Selain itu, menghadirkan sebuah nuansa pertandingan di tribun bersama para supporter Persebaya di Bonek Tribun Kidul. Film ini sendiri digarap bersama dengan siswa SMK Dr. Soetomo Surabaya, jurusan film dan multimedia.
Parade Scene Wisata Surabaya
Sejak detik awal film ini diputar, sebuah sinematografi yang apik sudah disuguhkan. Tidak heran memang, karena film ini juga menggaet penyunting film terbaik dari anugerah penghargaan FFI, Wawan I Wibowo. Didukung dengan backsound-backsound yang juga mendukung kesuksesan film ini, karya penata suara terbaik di FFI, Adityawan Susanto.
Film yang scene utama berada di Kampung Maspati ini, benar-benar terasa seperti film yang sengaja menonjolkan tempat-tempat iconic di Surabaya. Tugu Pahlawan, Gedung Balai Kota, Wisata Bambu Runcing, Cafe di daerah Peneleh, dan tempat-tempat lain seperti pintu air Jagir. Awalnya, film ini cukup menarik saat menyuguhkan parade tersebut, tetapi jadi terasa menonton iklan Kota Wisata, karena porsinya yang berlebihan dan scene yang serupa di mana Meyling (Grace Tie) dan Zaki atau Jack (Arief Wibhisono) berkeliling dengan tujuan hunting foto. Tidak hanya sekali, tetapi juga ada di scene akhir-akhir film.Hal yang menambah referensi film ini mengenai Surabaya juga menyertakan informasi tentang seniman Gombloh yang merupakan seniman asli Surabaya.
Bukan tentang Cinta, tapi tentang Pemuda yang Meraih Cita
Mungkin, orang yang melihat poster film ini secara sekilas akan mengira bahwa film ini adalah romansa anak muda yang berada di tengah perbedaan. Namun, sebenarnya ada kemunculan Wak Dollah (Eko Tralala) dalam poster tersebut, cukup menyiratkan bahwa film ini bukanlah cerita cinta. Film ini mengusung sebuah problema perbedaan antara Jack, putra Wak Dollah yang orang Arab, dan Meyling, putri Koh Halim yang orang China.
Selain permasalahan berbeda dari segi keturunan, keduanya juga berbeda agama. Jack juga bermasalah pada kuliahnya yang tak kunjung selesai, karena merasa salah jurusan, hingga semester akhir di tahun ke-7. Jack di ambang DO, harus menyelesaikan skripsinya. Konflik salah jurusan sendiri terasa dekat dengan mahasiswa, terlebih dengan penentuan jurusan oleh orang tua. Film ini merupakan wajah sederhana kehidupan mahasiswa dan hubungan anak-orang tua.
“Kalau kamu di DO, yang kecewa itu banyak orang. Orang tuamu, aku juga.”
Paradoks tentang Asmara dan Pertemuan
Sisi persahabatan juga turut diangkat dalam film ini, sesama wong Suroboyo yang bangga dengan Suroboyo-nya. Setiap karakternya menggambarkan setiap perbedaan. Juga mendukung karakter utama, si Jack itu sendiri. Seperti si Koh Aseng (Eka P. Sutjianto) sebagai keturunan China yang perhitungan dan telah sukses dengan bisnis kosmetiknya.
Lalu Mat Sholeh (Aryudha Fasha) sebagai perantau asal Madura yang sukses dengan pekerjaannya menjadi crew di EO. Dan Kadir (Gilang Pratama) sebagai pemain yang dekat dengan konotasi negatif dalam masyarakat—seperti alkohol, bahkan ada sebuah adegan menarik di mana Kadir melepas tindik di telinganya ketika bertemu Wak Dollah—tetapi, tetap bisa sukses dengan usaha bengkel roda duanya dan tidak menyeret paksa lingkungan terdekatnya.
Jack sendiri memberikan motivasi, setelah permasalahannya rampung. Di akhir film, ia menganggap bahwa urusan asmara adalah nomor sangang puluh sangang, alias bukan hal yang perlu diprioritaskan dalam hidup. Namun, beberapa detik kemudian, kalimat tersebut seakan menjadi doa dan memunculkan paradoksnya.
Film dengan konflik sederhana ini awalnya akan terasa panas, dengan konflik yang ada. Namun, akhir film ini menjadi twist yang menyederhanakan jawaban dari semua pertanyaan mengenai perbedaan agama tersebut.
“Lah sampeyan sopo? Kok mekso-mekso perkoro agomo.”
Karakter ideal sosok pemimpin juga diwakili dari seorang Pak RT, di mana dia menjadi penengah dari watak kerasnya Jack dan Wak Dollah yang sering berbeda pendapat. Menanggapi masalah tersebut dengan kepala dingin, mencerminkan harapan bahwa itulah sosok pemimpin yang mengayomi perbedaan. Karena tinggal di lingkungan yang menuntut toleransi lebih tinggi.Pemilihan kampung Maspati sendiri merupakan pilihan yang tepat, untuk mendukung pengoptimalan konflik ini sendiri.
“Lek bedo kenopo? Opo nggak oleh koncoan? Persahabatan? Wong iki kabeh isih Indonesia.”
Film Indonesia sekarang bagus-bagus ya. Ini ikut festival di luar negeri gak ya?