Resensi Novel “Sabtu Bersama Bapak” Karya Adhitya Mulya

Resensi Novel “Sabtu Bersama Bapak” Karya Adhitya Mulya

Sabtu Bersama Bapak, oleh Adhitya Mulya

Diterbitkan oleh Gagasmedia, 2014

x + 278 hlm.; 13 cm x 19 cm

ISBN: 979–780–721–5

Seorang penulis terkenal kelahiran 3 Desember 1977 ini. Setelah berkiprah dalam dunia kepenulisan selama 10 tahun. Ia kembali hadir dengan novel best-sellernya yang dikonversikan dalam sebuah film dengan judul yang sama pada tahun 2016, Sabtu Bersama Bapak.

Novel ini berkisah mengenai perjalanan hidup tentang sebuah keluarga tanpa ada sosok Bapak di sisi mereka yang meninggal karena penyakit kanker. Namun, sosok Bapak tetap hadir di tengah–tengah mereka untuk bercerita, bermain, atau menjawab semua pertanyaan tentang kehidupan. Hadir memberikan nasihat dan cerita untuk keluarga yang ia tinggalkan agar tetap bahagia dan hidup tenang sepeninggalnya melalui ratusan kaset berisi video dirinya. Gunawan Garnida, pria berusia 38 tahun, menjadi kepala keluarga yang membuatnya harus bertanggungjawab atas keluarganya. Sekarang maupun nanti. Sosok yang pantas disebut Bapak dan kepala keluarga, yang memahami tugas dan kewajibannya atas kehidupan keluarganya digambarkan sosok Adhitya Mulya melalui tokoh Gunawan Garnida ini. Itje Garnida merupakan istri dari Gunawan Garnida yang ia tinggalkan bersama dua orang putranya.

Si Sulung, Satya Garnida, lelaki tampan, pintar, dan sering berganti pacar lebih sering dari berganti baju. Seorang geophysicist untuk perusahan kilang minyak asing yang membuatnya jarang berada di rumah. Meninggalnya Bapaknya saat usianya 8 tahun, membuat Satya sebagai pria nomor satu di keluarga yang harus melindungi Mamahnya dan Adiknya. Karena pikiran itulah, Satya tumbuh sebagai lelaki yang cadas dan sangat disiplin. Hal itu membuatnya selalu naik darah saat pulang ke rumahnya di kawasan Karlslunde, Denmark, selain kondisi rumah yang selalu berantakan, juga masakan istrinya yang selalu salah di lidahnya. Karena selalu berkata dengan nada tinggi dan menuntut ketiga putranya menjadi sama seperti dirinya dulu. Ketiga putranya, Ryan, Miku, dan Dani menjadi takut dengan sosok Bapak seperti Satya. Rissa, istrinya, mengirimkan sebuah e-mail­ kepada suaminya beberapa saat setelah mendapati Ryan yang menangis tersedu karena menelpon Satya. E-mail yang membuat Satya memahami bahwa ia bukanlah sosok Bapak yang diinginkan keluarganya.

“Mendingan Kakang jangan pulang ke rumah dulu. Sampai Kakang bisa menemukan sesuatu yang dapat Kakang sayangi dari saya dan anak–anak.”

Satya memahami, bahwa perlakuan ketiga putranya yang takut berbicara, takut meminta, kepadanya karena sikapnya yang kasar dan memberikan ekspektasi tinggi. Satya sadar jika orang dewasa mendapatkan atasan yang buruk di pekerjaan, mereka akan selalu punya pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Namun, anaknya tidak meminta dilahirkan dari orangtua yang buruk. Jika mendapat orangtua pemarah, mereka tidak bisa menggantinya. Sebenarnya, orangtua yang baik akan mampu mendidik anaknya mengatasi masalahnya, dengan tidak marah – marah.

Berbeda dengan si Sulung yang mendapat ketampanan berlebih. Si Bungsu yang lahir dengan wajah pas – pasan membuat ia hidup menjomblo sampai usia 30 tahun. Beberapa video dari Bapaknya yang seharusnya belum boleh ia dengarkan, karena nasihatnya diperuntukan untuk Satya yang berusia tiga tahun lebih tua darinya. Namun, si Bungsu, Cakra Garnida atau kerap dipanggil dengan nama kecilnya, Saka, selalu ikut menonton jika Satya memutar video Bapak setiap Sabtu sore selepas Ashar. Sisi positifnya, Saka tumbuh lebih dewasa dibanding anak seusianya. Bahkan saat Mamahnya bertanya kenapa ia belum punya pendamping hidup di usianya sekarang. Padahal ia sudah mempunyai pekerjaan yang mapan, dan rumah yang mampu menaungi istri dan anaknya.

“Mah, sebenarnya ada alasan kok. Kenapa sampai sekarang gak nikah atau punya pacar.”

“…”

“Saka membuktikan kepada diri sendiri dulu. Bahwa Saka siap lahir batin untuk jadi suami….”

“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.”

“Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat. Mamah tahu itu. Bapak juga gitu, dulu.”

Itje Garnida yang berusaha mengenalkan putra bungsunya kepada beberapa anak perempuan temannya. Mengenalkan sosok Retna yang cantik, baik, dan berkilau, seperti namanya dalam bahasa Jawa. Permata. Ternyata Retna adalah wanita yang membuat Saka jatuh hati di kantornya yang kerap di sapa Ayu, Ayu Retnaningtyas. Sosok Ayu itu pula yang membuatnya ketir – ketir karena seorang rekan kerjanya juga berusaha mendekati Ayu, Salman. Bedanya dengan Saka, sosok Salman lebih mudah bergaul dengan wanita dan lebih tampan dari Saka. Hanya saja rumor buruk mengenai Salman di kantor membuat Ayu mempertimbangkan lebih matang lagi pilihannya. Museum Fatahillah menjadi tempat yang membuat Ayu berpikir dan memandang Satya dari sudut pandang yang berbeda dengan di kantor. Saka yang terkesan kaku dan sering gugup di depannya. Sekarang Saka terlihat lebih santai, dan sangat humoris. Ayu lebih mengenal Saka di pertemuan yang direncanakan orangtua mereka. Blind-date di Kawasan Kota Tua. Setelah tur wisata Kota Tua selesai, mereka berbincang di sebuah restoran.

“Kata Bapak saya, dan dia dapat ini dari orang lain. Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama–sama kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu. Karena menjadi kuat, adalah tanggung jawab masing–masing orang. Bukan orang lain.” Ayu mengangguk mengerti, find someone complimentaray, not supplementary.

“Mas pernah bilang, bagi Mas, saya itu perhiasan dunia ahirat. Kenapa bisa bilang begitu?”

“Kamu pintar. Kamu cantik. Dan karena pada waktunya, saya selalu lihat sepatu kamu di musala perempuan.” Kedewasaan dan sikap Saka membuat Ayu memilihnya untuk mendampingi hidupnya, daripada Salman. Sebelum mendengar jawaban Ayu atas perasaannya, Saka mengetahui jika Mamahnya menderita kanker payudara. Namun, telah berhasil di atasi dan dinyatakan sembuh setelah melalui beberapa tahap pengobatan. Karena tidak ingin merepotkan kedua anaknya, Itje merahasiakan penyakitnya. Selain ia bisa membayar pengobatannya sendiri dari delapan restoran besarnya, ia selalu ingat pesan mendiang suaminya agar orangtua tidak merepotkan anaknya, karena anaknya tidak pernah merepotkan orangtua. Satya pun merubah sikapnya menjadi sosok Bapak yang lebih baik bagi keluarganya, karena ia mengetahui jika keluarganya memberikan yang terbaik untuknya dan berusaha menjadi baik untuknya. Jadi dia pun harus menjadi lebih baik untuk keluarganya.

Novel yang sangat menyentuh hati siapapun yang membaca ini sangat cocok dibaca kalangan remaja yang mengejar mimpinya, atau orang–orang yang sudah dewasa atau berkeluarga. Karena novel ini sarat dengan makna yang membuat pembaca memahami peran setiap orang dalam keluarga, terutama sosok Bapak dan peran seorang istri sebagai pendukung kuatnya sosok Bapak.

Ukuran buku dan jenis kertas yang terasa ringan pun membuat pembaca nyaman. Desain sampul dan tata letak buku pun menarik, membuat pembaca semakin betah membaca novel ini berlama–lama. Di samping sebuah fakta jika cerita dalam novel ini memang menarik pembaca untuk langsung membacanya sampai selesai. Hanya saja ukuran halaman yang terletak di sudut, terlalu kecil, jadi menyulitkan pembaca melihat halaman. Dan ukuran huruf yang digunakan juga sedikit terlalu kecil, jadi membuat mata pembaca lebih cepat lelah.

Di luar semua kekurangan novel ini, cerita yang disajikan Adhitya Mulya ini sangat menghibur dan menyentuh hati pembaca. Dengan alur menarik dan tata bahasa yang mudah dipahami karena menggunakan bahasa sehari–hari membuat novel ini diburu pembaca. Hingga beberapa waktu setelah novel ini dipublikasikan, novel ini berhasil menembus dunia perfilm-an.

 

Finaira Kara

Finaira Kara adalah seorang blogger yang suka menulis fiksi dan masih aktif menulis novel di beberapa platform. Semoga kalian semua senang membaca tulisanku ya.! KAMSAHAMNIDA ;)

2 thoughts on “Resensi Novel “Sabtu Bersama Bapak” Karya Adhitya Mulya

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Resensi Novel “Perahu Waktu” Karya Supaat I. Lathief
Previous Post Resensi Novel “Perahu Waktu” Karya Supaat I. Lathief
Anomali Cinta by Finaira – Prolog
Next Post Anomali Cinta by Finaira – Prolog