Info Buku:
Perahu Waktu, oleh Supaat I. Lathief
Diterbitkan oleh Araska, 2012
192 hlm.; 13,5 x 20, 5 cm
ISBN: 978-602-7733-35-0
Baca juga: Resensi Novel “Sabtu Bersama Bapak” Karya Adhitya Mulya
Madun. Seorang yang merasakan kebahagiaan masa kecilnya. Kesederhanaan hidup, namun penuh tawa dan kebersamaan antar anggota keluargannya. Buku yang menyajikan sebuah cerita fiksi di pinggiran kota Lamongan. Kedamaian sungguh tercipta, haya hidup sederhana dan jauh dari gaya hidup mewah di Desa Woh. Sudut pandang yang sering kali berbeda dengan kota Lamongan pada kenyataannya.
Saat remaja Madun diajak keluarga untuk pindah dari ketentraman ini menuju ke Desa Madulegi yang konon katanya Desa ini memiliki madu paling legi atau manis. Desa yang lebih dekat dari kota dibandingkan dengan Desa Woh. Desa yang bekerja dan tidak berpikir. Bapaknya dipandang menjadi orang yang menerapkan gaya panen aneh dan sering kali dicemooh karena habitat pemikiran yang berbeda. Bapaknya tak acuh terhadap celoteh warga Desa Madulegi. Ia tetap menggarap sawah dengan metode yang ia yakini benar. Madun tak bisa mencari teman bermain, matanya hanya menangkap anak – anak yang membantu orang tuanya bekerja. Senyapnya kebersamaan Desa Madulegi pun menggantikan ketentraman Desa Woh.
Baca juga: Cerpen Sebait Lagu Cinta by Finaira – Bagian 1
Desa Woh, mengajarkan bagaimana hidup sederhana. Mentalnya terbentuk karena kesederhanaan Desa Woh. Ia menjadi seorang anak desa yang tidak mudah menyerah dan selalu bekerja keras dan selalu bersyukur dengan apa yang ia miliki. Keyakinan yang dimiliki Bapak dan Ibunya akan kehidupan pun masuk lalu merasuki setiap sum – sum darah Madin. Ia menjadikan semangat turunan dari kedua orang tuanya itu sebagai pondasi untuk ia berubah menjadi anak desa yang sederhana.
Bapaknya tak pernah mengindahkan hidup mewah dan malas – malasan apalagi sekarang ini anak-anaknya masih remaja, sikap tegas, bijak, santun, kreatif, dan mahir dalam bidang agama Bapaknya membuat masyarakat desa selalu menaruh hormat kepada Bapaknya. Tak terkecuali desa Madulegi saat ini. Desa yang membuat kelayakan hidup Madun beserta keluarganya menjadi lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di Desa Woh dulu. Kehidupan yang membuat Madun merasakan ketentraman perlahan demi perlahan. Hidup keluarganya menjadi semakin membaik dan layak karena ara bercocok tanam yang diterapkan oleh Bapak Madun menjadikan hasil panennya melimpah ruah.
Baca juga: My Beloved Niqobi by Finaira – Prolog
Ajaran tentang pendidikan dari gurunya semasa ia masih di Desa Woh oleh Pak San dan Bu Nis membuat ia tetap semangat menjalani sekolahnya dan membuat ia menjadi juara kelas.
Masyarakat Desa Madulegi pun menjadikan Bapak Madun sebagai panutan. Tentu hal itu menambah beban moral terhadap keluarganya pula, termasuk anak – anaknya. Kejailan Madun yang dianggap sebagai kenakalan oleh masyarakat desa, membuat rumah keluarganya sering ramai didatangi oleh masyarakat karena kesalahpahaman. Namun Bapaknya yang berwibawa itu membuat semua warga yang menyampaikan kenakalan dan kejailan Madun selalu pulang dengan rasa malu karena pemikiran yang rasional oleh Bapaknya Madun. Karmin.
Madun yang berkeinginan kuat untuk melanjutkan pendidikannya di kota pendidikan. Malang. Ia sangat didukung oleh Bapaknya. Namun, ia harus mengangon kambing hingga mereka bisa besar dan mahal jika dijual. Madun pun berhasil mengangon kambing hingga terjual mahal. Namun Bapaknya sakit dan Madun berpikir untuk mengurungkan niatnya berangkat ke Malang an mengobatkan Bapaknya. Tentu saja Bapaknya tidak setuju dengan keputusan Madun.
Baca juga: Analisis Puisi ‘UUD ‘45’’ Karya Taufik Ismail
Madun yang sangat cerdas dan bahkan mampu mengingat hal yang tidak bis diingat oleh teman seusiannya. Asnawi selalu memuji kehebatan temannya itu. Asnawi yang memiliki badan besar dan lengan kekar berotot itulah yang selalu menemani Madun. Ia dan Madun akan menjadi sangat tidak terkalahkan jika sudah berduet laga di dalam lapangan pemainan sepak bola. Bahkan karena kehebatan mereka dalam menggelindingkan bola dan membuahkan banyak gol untuk tim mereka, sampai mereka banyak menerima tawaran sewa pemain untuk bermain di tim desa lain dalam sebuah pertandingan. Mereka benar – benar tidak bisa terkalahkan oleh tim manapun. Permainan hebat mereka itu karena buah kekecewaan Madun yang gagal dalam ujian masuk ke universitas. Karena itu Madun harus mengangon kambing lagi dan menunggu tahun depan untuk mencapai impiannya.
Cuaca cerah menymbut madun setiap paginya. Ia harus bergelut dengan kamar yang sempit. Namun ia menemukan kesejukannya saat ia bercanda dengan teman – temannya. Apalagi saat Madun melihat gadis cantik yang akan menaiki angkutan kota. Gadis lembut dengan senyuman memikat. Hati Madun terkait dengan keanggunan wanita itu. Namun, wanita itu tidak seiman dengan Madun.
Baca juga: Novel Finaira – Mengapa Cinta Harus Jatuh – Bagian Satu
“Jika kau ingin ke rumah agak malam saja, jangan terlalu malam,“ kata Ina.
“Mengapa?“ tanya Madun.
“Biasanya kami sekeluarga akan beribadah bersama,“
“Lho kalau ada tamu kan bisa ditunda?“
“Tidak bagi keluarga kami,“ jawab Ina singkat.
Madun yang merasa memiliki keberuntungan dengan kartu umbul bergambar tokoh pewayangan yang berperut buncit dan menyembunyikan satu tangan di balik badannya yang membungkuk itu. Ia dan teman-temannya sebenarnya sangat tidak menyukai kartu semar. Karena dianggap kartu semar hanya membawa kekalahan. Tapi karena keinginan bermain kartu dengan para temannya, Madun membeli kartu semar itu. Madun memainkan kartunya dan memperolah kemenangan. Madun tidak percaya dan memainkannya denan kartu umbul milik temannya yang lain. Menang. Madun menang lagi. Dan Madun menjadi tak terkalahkan.Semar yang menyimpan banyak misteri dan tak terkalahkan. Madun menemukan kebahagiaannya.
Baca juga: Finaira Mendongeng: Kupu-kupu Cantik yang Sombong
Buku ini layak untuk dibaca, dengan bahasa dan alur cerita yang disajikan dengan bagus dan menarik. Didukung desain sampul buku yang menggambarkan isi cerita. Judulnya menarik perhatian pembaca. Kertas dan ukuran yang digunakan untuk mencetak buku yang luar biasa ini juga mendukung dan membuat tangan pembaca nyaman membacanya. Setiap bab dalam buku ini menceritakan rentetan kisah hidup Madun si anak Desa Madulegi yang rinci dan dalam imjinasi yang luar biasa. Pembelajaran hidup yang dalam dapat dipetik dari buku ini. Filosofi yang tokoh pewayangan, Semar pun tersaji dalam buku ini. Hingga pengetahuan pun dapat diperoleh oleh pembaca dengan hanya membaca sebuah buku. Tentu tidak akan bosan karena disajikan dalam bentuk dialog antar tokoh yang disajikan penulis. Pengetahuan yang diselipkan dengan begitu rapi dalam naskah cerita kehidupan Madun.
Meskipun buku ini tidak memiliki catatan kaki yang seharusnya ada karena penulis membubuhkan bahasa yang tidak semua pembaca akan mengerti. Kata pengantar juga tidak menjadi bagian dari isi buku ini. Namun segala hal pengetahuan yang disajikan dalam cerita ini membuat para pembaca penasaran dan tidak mempedulikan kekurangan buku ini. Pembaca yang disuguhi dengan klangenan peristiwa masa lalu, kenangan yang patut untuk dikenang adanya.
Great, thank’s for your comment, and enjoy it. I’ll visit yours.