Part II Hymn of Death: Perjalanan Batin dan Sebuah Kisah Cinta

Part II Hymn of Death: Perjalanan Batin dan Sebuah Kisah Cinta

Menyambung tulisan sebelumnya yang sudah sepanjang kisah kita berdua, mengenai K-Drama The Hymn of Death, kali ini sesuai dengan janji (padahal cuma bilang, doang, dan nggak janji) Fin yang akan melanjutkan pemabahasannya di postingan lain. Sebenarnya Fin menulis dua postingan ini dalam satu file, hanya saja saat melihat jumlah katanya yang jauh lebih banyak dibandingan jumlah huruf yang saling kita ucapkan, akhirnya Fin memisahnya dalam dua postingan. Supaya kamu tidak menjauh dan hanya singgah, karena kepanjangan. Let’s check this out!

Tentang K-Drama: The Hymn of Death Part I

Rumor, Ujaran Kebencian yang Dapat Membunuh Manusia Lebih Kejam daripada Pedang

Sampai saat ini, kamu pasti sering, kan, mendadak mendengar ada seorang penyanyi atau aktor/aktris Korea yang seringkali muncul di layar kaca dan bahkan menggemparkan dunia media sosial setiap harinya. Namun, dalam beberapa minggu saja setelah masa Boom!-nya itu, dia juga menghilang secepat ketenarannya, meskipun juga terkadang ia adalah sosok seniman yang berjuang dari nol dan akhirnya ketika berada di puncak. Mendadak ia tumbang dalam sekejap.

Hal ini juga dikisahkan dalam drama ini, bahwa semakin tinggi pohon, akan semakin kencang angin yang menerpanya. Hal ini menimpa Sim-Deok ketika dia berhasil menjadi penyanyi yang terkenal di kotanya, tetapi dalam waktu singkat semua usahanya bertahun-tahun itu dipatahkan dengan rumor yang menghancurkan seluruh kepercayaan dan kecintaan masyarakat kepadanya.

“Aku ingin istirahat sekarang.”

Shin Hye Sun dan Yun Shim Deok

Cinta yang Tidak Seharusnya, Tragis, Melankolis, Dramatis, Romantis

Drama Hymn of Death atau yang berjudul lain Praise of Death atau pula Death Song, sejauh ini merupakan K-Drama dengan episode paling sedikit yang pernah Fin tonton. Hanya dalam 6 episode di mana tiap episodenya berdurasi sekitar 35 menitan, rasanya drama ini memang pas untuk berakhir di sini. Menyajikan sebuah konflik yang kompleks dan sebenarnya seringkali kita temui di lingkungan sekitar kita. Namun, Fin akan membahasnya nanti, karena Fin ingin membahas sesuatu yang melompat-lompat sejak detik pertama drama ini diputar hingga di menit ke sekian di episode tiga.

Drama ini seperti … kisah dalam film Air Mata Surga, adaptasi novel Air Mata Tuhan karya Aguk Irawan. Di mana di awal, penonton benar-benar diberikan keceriaan yang tida henti dengan berbagai kejolak kesedihan yang tidak cukup berat. Namun, mampu menarik perlahan untuk seolah membuat penonton menyiapkan hati, bahwa ada hal besar yang akan terjadi. (Yah, meskipun detik pertama drama ini sudah menyajikan akhir perjalanan mereka. Namun, Fin berusaha untuk mengenyahkannya dulu, dan berfokus membahasnya sejak awal cerita.) Lalu … boom! Sebuah fakta mengejutkan mendadak terucap dengan satu kata. Keduanya hancur seketika, tetapi pada sisinya masing-masing. (Serius, pada saat ini, sebenarnya Fin sudah menduga saat adegan Woo-Jin mengundang Sim-Deok ke rumahnya di Mokpo. Semacam, there’s something smell. Tetapi pada saat mendengarnya, tetap saja kaget.) Dan setelahnya, cerita ini menjadi penuh air mata. (Jangan kebanyakan menangis kalau menonton drama ini, tapi kalau kamu nangis, setidaknya jangan menangis karena kamu jomblo. Dan lebih banyak menangis saat menggila pada Tuhan.)

Selesai membicarakan hal yang sebenarnya nggak begitu penting mungkin bagi kamu, tapi karena kamu sudah membacanya sejauh ini, jadi, yah, anggap saja itu adalah perasaan penting yang nggak akan kamu lewatkan.

Ketidakharmonisan Cinta

Woo-Jin dan Sung-Gyu adalah contoh dari sekian banyak kasus di mana yang mampu mencerminkan sikap, “aku mencintainya dengan caraku. Sung-Gyu merencakan segala sesuatunya tentang hidup Woo-Jin tentu saja sebagau wujud rasa cintanya kepada anak semata wayang, di mana hal ini dijelaskan pula oleh Jung Chum-Hyo (istri Woo-Jin, yang diperankan oleh Park Sun-Im). Bahwa, “meski kau tidak menulis, ada orang lain yang akan menjadi seperti itu. Tapi, tidak ada orang lain yang bisa menjalankan perusahaan.”

Sisi menariknya lagi dari perjalanan cinta dalam drama ini adalah sosok istri Woo-Jin, di mana dia merupakan istri hasil perjodohan, alias pasangan hidup yang sudah ditentukan oleh ayah Woo-Jin. Bisa dibilang, dia adalah karakter paling baik dan bijak dalam drama ini, menurut Fin. Well, karena dia sendiri berstatus sebagai istri yang memiliki segala hal tentang Woo-Jin, kecuali hatinya. Bukannya mematikan perasaan, toh pada suatu episode dia ditampilkan sedang menyetuh meja kerja Woo-Jin dan menampakkan rasa cemburu, penyesalan, dan kesedihan.

Nggak hanya itu, karakternya adalah karakter yang kuat dalam menjalani kehidupan, meskipun dia seperti tidak punya hak untuk hidup dengan cara dan pilihannya sendiri. Chum-Hyo, adalah sebuah penggambaran cinta sejati. Yah, meski dari kalimat dan tindakan-tindakannya, menjalani kehidupan sebagai menantu keluarga Sung-Gyu dengan baik adalah pilihan hidup yang telah diambilnya.

“Aku tidak pernah menginginkan hatimu. Meskipun hatimu berada di tempat lain, aku percaya bahwa itu adalah tugasku: untuk mencintai dan mendukungmu tidak peduli apa pun.”

Dalam sesi akhir cerita, sepertinya Chum-Hyo adalah orang yang bisa mengubah pendirian Woo-Jin untuk pulang kembali ke Korea, setelah memutuskan untuk pergi ke Tokyo pasca pertengkaran hebat antara dia dan ayahnya. Well, siapa yang bisa menebaknya apakah hal ini akan benar-benar terjadi?

“Aku tidak memintamu menjadi suami untukku, tetapi tolong jangan lupakan tugasmu sebagai seorang anak.”

Cover film Death Song pada tahun 1991

Kisah Cinta yang Tidak Seharusnya

“Mencintai berarti adalah merasa luluh dengan tidak tanggung-tanggung.”–Episode 1

Di awal film, tepatnya di awal pertemuan antara Sim-Deok dan Woo-Jin adalah sebuah adegan di mana Woo-Jin membaca buku karangan Arishima Takeo. Yang akhirnya menjadi sebuah garis merah yang menunjukkan akhir kisah cinta mereka di akhir cerita. Meski di awal mereka berpikir bahwa hal itu adalah sebuah upaya untuk melarikan diri dari dunia dan semua pergolakan batin, tetapi pada akhirnya mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan sebuah pilihan untuk hidup, sebuah jalan yang diambil untuk beristirahat.

Re-call dalam dialog di episode terakhir ini pada pertemuan kedua tokoh ini yang mana ada di episode pertama sangat apik. Fin pribadi suka dengan caranya menyajikan pengulangan kisah awal ini.

“Tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku takut aku mungkin akan sangat merindukanmu.”

Sebagian orang Korea sendiri percaya, bahwa kematian bukanlah sebuah akhir bagi perjalanan hidup seseorang. Mereka percaya bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, juga reinkarnasi, di mana kemungkinan mereka akan bertemu kembali di kehidupan-kehidupan selanjutnya walau tanpa mereka sadari. Hal ini seringkali Fin jumpai dalam beberapa drama, seperti salah satunya K-Drama berjudul Goblin, lalu ada pula Legend of The Blue Sea, yang terbaru ini juga Hotel Del Luna, dan beberapa K-Drama lain yang menyajikan kepercayaan akan adanya reinkarnasi.

Pada akhir cerita, Woo-Jin dan Sim-Deok memutuskan untuk memilih jalan mereka. Melihat adegan-adegan dalam akhir dalam drama ini yang diisi dengan tawa keduanya, rasanya jadi flashback dengan K-Drama lain berjudul Endless Love, kisah putri tertukar dan brother-sister complex dengan akhir yang serupa drama ini. Dan kisah ini akhirnya menjadi kisah yang melegenda hingga sekarang di Korea, meski sangat disesalkan bagaimana akhir kisah mereka. Namun, andaikan ditanya apakah K-Drama ini harus ada sekuelnya? Fin mungkin akan bilang tidak, kalau dilihat dari segi kisah cinta mereka berdua. Apa lagi yang mau dikisahkan dari keduanya?

Tentang K-Drama: The Hymn of Death Part I

Namun, Fin cukup penasaran dengan beberapa pertanyaan mengganjal yang terkait dengan bagaimana kehidupan keluarga keduanya setelah itu, terutama keadaan Chum-Hyo, lalu keluarga Sim-Deok yang telah mendapatkan sebuah ‘stampel’ saat Sim-Deok diminta untuk menjadi penyanyi dalam rapat Kantor Pemerintahan Jepang Korea. Tidak ketinggalan juga, mantan tunangan Sim-Deok dan puisi-puisi yang ditulis Woo-Jin. Masih banyak hal yang menurut Fin belum rampung tuntas terjawab dalam drama 6 episode ini, salah satunya adalah penyebar rumor tentang Sim-Deok dan apa makna Soosan dan Soosun.

Praise of Death

Well, dari tulisan Fin yang sepanjang jalan kenangan ini dalam membahas K-Drama yang sebenarnya hanya 6 episode, tetapi sudah membahas segala masalah kompleks ini Fin rasa cukup, meski masih banyak yang ingin Fin tuliskan termasuk keinginan Fin yang ingin melihat adegan seperti dalam film Titanic. Mungkin tentang kemampuan peran dari tiap tokohnya, atau penataan latar dan kostum atau mungkin ekspresi dari Shin Hye-Sun yang mencerminkan kesedihan dari ‘Lagu Kematian’ saat di akhir drama.

Well, kamu juga bisa melihatnya bahwa mereka memerankannya dengan apik dan mengenali perasaan tiap karakternya. Atau mungkin, pilihan mereka yang menggunakan nama Soosan dan Soosun saat mengakhiri kisahnya? Makin panjang nantinya, ya, ocehan Fin ini.

Andaikan, kisah mereka ditampilkan dengan secara lebih detail lagi, mungkin akhirnya akan menjadi lebih panjang dan tentu saja menjadi lebih bagus, apalagi sinematografi dan soundtrack-nya berhasil masuk dalam cerita. Meskipun, sekali lagi, pendeknya drama ini adalah sebuah isyarat, bahwa kisahmu mungkin dapat berakhir begitu saja di tengah jalan. Bahkan sebelum kamu menemukan jawaban.

Tabik,
#BloggerJomblo

Finaira Kara

Finaira Kara adalah seorang blogger yang suka menulis fiksi dan masih aktif menulis novel di beberapa platform. Semoga kalian semua senang membaca tulisanku ya.! KAMSAHAMNIDA ;)

15 thoughts on “Part II Hymn of Death: Perjalanan Batin dan Sebuah Kisah Cinta

  1. Baca review drama ini bikin baper. Ada banyak petikan yang jleb dan cukup membuat luluh. Ini drama romantis yg sepertinya harus kutonton, tipe2 drama yang kusuka ini. Hymn of Death sangat cocok menjadi judul dari drama ini.

  2. Ketahanan mental seseorang memang bener-bener kudu kuat ketika mendapat banyak tekanan, apalagi seperti beliau tokoh-tokoh terkenal maka makin besar pula cobaan yg dihadapi. Pelajaran berharga sih buat saya apalagi yang gampang baperan kalo di beri cobaan gitu.

  3. Sepertinya aku harus nonton ini. Cocok banget buatku yang hanya mau nonton K-Drama dengan episode sedikit, ditambah review yang buat penasaran. “Tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku takut mungkin aku akan sangat merindukanmu.” So sweet beutzzz.

  4. Memang menarik ya kalau dilihat dari kisahnya, banyak quotenya juga ternyata film drama. Kirain teh cuma baper-baperan gitu lalu hilang karena sejauh ini belum tertarik samasekali dengan drama dari negara ginseng ini

    1. Tergantung dari jenis drama yang ditonton, sih, Kak. Kalau aku sendiri memang jarang nonton drama yang baper-baperan atau penuh adegan romantis, gitu. Bisa dicoba dengan drama ini, karena kisah romantisnya nggak berlebihan manisnya.

  5. review film psikologi dong, atau novel biografi yang diangkat ke layar lebar. tapi, hm. gimana kalo bukan korea. hehe. serah deh ah! blog orang

  6. Acctually tulisan ini puanjaaaaaanngggg poolllllllll wkwwwkwk.. Tapi terima kaasih atas reviewnya. Masih belum bisa memutuskan akan nonton atau tidak karena masih banyak drakor yang belum juga saya tonton xixixix

    1. Setahuku, catatan tentang Kim Woo-Jin sendiri nggak banyak, satu-satunya drama panggung karyanya yang bisa kutelusuri cuma Wild Pig di tahun 1926 sebelum melompat dari kapal rute Simonoseki-Busan sama Sim-Deok. Justru lebih banyak catatan tentang Yun Sim-Deok. Let me know~ andaikan kamu menemukan fakta menarik tentang keduanya, salam kenal.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Part I Hymn of Death: Perjalanan Batin dan Sebuah Kisah Cinta
Previous Post Part I Hymn of Death: Perjalanan Batin dan Sebuah Kisah Cinta
Aventree: Resto Ala Korea dan Homestay di Malang sebagai Jujukan Wisatawan
Next Post Aventree: Resto Ala Korea dan Homestay di Malang sebagai Jujukan Wisatawan