Finaira.id,- Hai, aku akhirnya menulis tentang penyakit kusta yang alhamdulillah sekarang mulai banyak dikenal masyarakat sebagai penyakit kusta. Benar, jika berbicara tentang penyakit kusta seringkali yang ada dalam pikiranku adalah penyakit mistis. Terlalu banyak kisah mistis yang mengiringi penjelasan soal kusta di masyarakat tentang penderita penyakit kusta.
Namun, sekarang pola pandang tersebut mulai teratasi seiring dengan banyaknya sosialiasi. Salah satu sosialisasi masif sebagai gerakan untuk mendorong Indonesia Bebas Kusta dilakukan NLR Indonesia dan KBR. Di mana kemarin (Rabu, 28-09-2022) aku berkesempatan mengikuti sosialiasi yang dikemas dalam talkshow secara online di kanal YouTube Berita KBR. Dengan tajuk, “Kusta dan Disabilitas Identik dengan Kemiskinan, Benarkah?”
Talkshow ini dihadiri oleh 2 narasumber yaitu Bapak Sunarman Sukamto, Amd. (Tenaga Ahli Kadeputian V, Kantor Staff Presiden) dan juga Ibu Dwi Rahayuningsih (Perencana Ahli Muda, DIrektorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Kementerian PPN/Bappenas).
Apa itu Penyakit Kusta?
Kusta sendiri adalah penyakit yang disebabkan oleh Myobacterium Leprae. Di beberapa daerah, barangkali kusta disebut sebagai penyakit lepra, Morbus Hansen, atau penyakit Hansen. Meskipun terklasifikasi sebagai penyakit menular, tetapi proses penularan kusta ini baru bisa terjadi jika ada kontak erat dalam ruangan yang sama dengan penderita minimal 3 bulan berturut-turut.
Setelah proses penularannya pun, bakteri kusta ini membutuhkan waktu sekitar 6 bulan hingga 40 tahun untuk berkembang dalam tubuh. Biasanya kemunculan gejala rata-rata sekitar 3-5 tahun setelah tertular. Lepra atau kusta adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan saraf tepi, kulit, saluran pernapasan atas, dan selaput lendir di mata.
Benarkan Kusta Identik dengan Kemiskinan?
Sebagai informasi awal, menurut data dari Kementerian Kesehatan RI per tanggal 24 Januari 2022, kasus kusta berjumlah 13.487 dengan penemuan kasus baru berjumlah 7.146 kasus. Selain itu berdasarkan data tersebut, Indonesia merupakan negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Dari data yang disampaikan dalam talkshow, pada tahun 2021 masih ada 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota yang belum eliminasi kusta.
Sedangkan untuk data spesifik kasus disabilitas dengan kusta masih belum banyak. Menurut Ibu Dwi Rahayuningsih, sesuai UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah mengklasifikasikan kategorinya ketika pendataan yaitu disabilitas fisik.
Lalu mengapa kusta ini identik adanya dengan kemiskinan? Padahal penyakit kusta ini proses penularannya melalui udara seperti batuk, bersin. Namun perlu dipertimbangkan pula berbagai faktor terutama kebersihan area tempat tinggal dan beberapa faktor lainnya. Faktor yang dapat meningkatkan risiko tertular kusta ini apabila tinggal di area endemik penyakit kusta, ada kelainan genetik di sistem imun, dan berkotak dengan hewan penyebar bakteri kusta (armandillo).
Dalam talkshow dijelaskan oleh Ibu Dwi Rahayuningsih bahwa identiknya kusta dengan kemiskinan itu karena masih adanya stigma negatif tentang kusta di ruang sosialiasi masyarakat. Sehingga stigma negatif ini membatasi ruang gerak OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) dan juga disabilitas untuk beraktivitas sosial secara normal. Ruang geraknya terbatas, padahal seharusnya OYPMK ini dapat berdaya untuk berkarya. Lalu apabila ruang geraknya dibatasi oleh stigma, tentu akan berakibat pada menurunnya pendapatan yang mungkin saja berujung kemiskinan jika terus terjadi.
Tidak hanya OYPMK, disabilitas juga seringkali mendapat stigma negatif dari lingkungan. Padahal jika menilik dari data yang disebutkan Ibu Dwi, secara nasional tingkat kemiskinan itu sebesar 10,14% dan disabilitas sebesar 15,6%. Tentu ini adalah perbedaan yang signifikan, karena disabilitas memiliki ruang gerak sosial yang terbatas alhasil pendapatan juga terbatas.
Mengutip penejelasan Pak Sunarman Sukamto, upaya pemerintah memang masih berfokus di taraf upaya kesehatan. Menurutnya kusta itu bukan hanya sekadar isu kesehatan, tetapi multidimensi yang harus diatasi dengan kerjasama atau kolaborasi banyak pihak. Ada unsur ekonomi, sosial, lingkungan, pendidikan, dan sebagainya.
Kolaborasi lintas sektor tersebut haruslah menjadi agen perubahan untuk membantu memberikan literasi pada penderita kusta dan disabilitas agar mereka tidak terpenjara dan membangun sekat tinggi karena ketidakpercayaan diri. Selain itu, edukasi ini penting agar meluruskan pemahaman masyarakat tentang kusta yang belum baik. Karena ketidakpahaman itu menyebabkan orang dengan kusta dijauhkan dari pemukiman dan lingkungan sosial masyarakat.
“Bukan hanya eliminasi, tapi eradukasi.”
– Bapak Sunarman Sukanto, Tenaga Ahli Kadeputian V Kantor Staff Presiden
Program Pemerintah untuk Penanganan Kemiskinan Bagi Disabilitas dan Orang Dengan Kusta
Ketimpangan ekonomi ini karena kurangnya kesempatan dan peluang bagi OYPMK dan penyandang disabilitas ini untuk berkarya dan bekerja dalam rangka menghidupi keluarganya. menyebabkan ketimpangan. Maka itu pemerintah melalui kementerian sosial, menjalankan program untuk penanganan kemiskinan bagi penyandang disabilitas dan orang dengan kusta. Beberapa programnya yaitu:
– Bantuan sembako, ditujukan pada penyandang disabilitas termasuk kusta yang masuk kategori miskin dan datanya tercatat di DTKS
– Program kemandirian usaha
– Bantuan asistensi rehabilitasi sosial dan penyaluran alat bantu
– Penyediaan tempat bagi OYPMK, beberapa di antaranya yaitu Desa Banyumanis (Jawa Tengah), Dusun Sumber Gelagah Desa Tanjung Kenongo (Jawa Timur), dan Kompleks Penderita Kusta Jongaya (Makasar, Sulawesi Selatan).
Ibu Dwi Rahayuningsih dalam kesempatan yang sama juga menyebutkan beberapa pelaksanaan rencana aksi nasional untuk OYPMK dan penyandang disabilitas, sebagai berikut:
– Mendorong perusahaan swasta untuk menggunakan CSR-nya dalam membantu pemberdayaan OYPMK melalui kegiatan pelatihan, manajemen, kewirausahaan, dan sebagainya.
– Program peningkatan layanan keuangan inklusif untuk penyandang disabilitas
– Peningkatan cakupan program kesejahteraan sosial untuk penyandang disabilitas
– Program return to work yaitu memastikan bahwa OYPMK dan penyandang disabilitas dapat dipekerjakan kembali di tempat ia bekerja sebelum terkena kusta
– Memberikan kuota minimum untuk perusahaan swasta 1% dan pemerintah termasuk BUMN/BUMD untuk mempekerjakan OYPMK dan penyandang disabilitas.
Beberapa program itu bertujuan untuk membuat orang dengan penyakit kusta ini dapat kembali diterima di lingkungan sosial, sehingga dapat kembali berdaya secara mandiri. Setidaknya ia dapat menghidupi dirinya sendiri, tolok ukurnya itu dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal makan, kesehatan, akses bersosialisasi.
Edukasi tentang kusta juga disampaikan di sekolah-sekolah, termasuk sekolahnya si sulung. Alhamdulillah jadi lebih mengenal kusta atau dulunya disebut lepra. Mereka juga harus dapat haknya di dalam masyarakat, makanya makin banyak edukasi di mana-mana, makin bagus dampaknya buat mereka, ya.