Finiara.id,- Indonesia merupakan negeri agraris dengan luas lahan pertanian berjuta-juta hektar hingga saat ini, di masa revolusi industri. Sektor pertanian sendiri, diyakini tidak akan mampu terpengaruh keberadaannya akan terjadinya perubahan teknologi. Kecuali pada sistem perawatan dan pemberlakuan penanamannya, karena lahan pertanian merupakan sebuah investasi bagi swasembada pangan sebagai bahan pokok untuk bertahan hidup.
Dalam perannya, terutama tanaman beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia tercatat mencapai angka 32,4 juta ton sepanjang 2018, lalu. Data tersebut dilansir oleh Badan Pusat Statistik setelah melakukan penghitungan terkait jumlah produksi beras pasca pengonversian GKP ke GKG.
Meskipun, dari jumlah yang diperoleh dalam data tersebut masih berada 31 persen di bawah target produksi beras Kementrian Pertanian, yakni sebesar 48 juta ton hingga akhir tahun. Hal ini, hanya menyisakan sekitar 2,85 juta ton setelah dikurangi angka konsumsi beras per tahunnya yakni sebesar 29,6 juta ton. Namun, dengan demikian masih memiliki surplus beras sebagai cadangan bahan pangan selama beberapa periode.
Dalam jumlah tersebut, akan kurang mampu menjadi sebuah alat untuk mengatasi ketimpangan dan mengurangi kelaparan. Karena jumlah yang tidak memiliki surplus banyak, maka harga beras pun akan menjadi tidak bersahabat. Meskipun, jika harga beras terlalu murah dinilai akan merugikan para petani.
Kesejahteraan masyarakat dinilai tidak akan berjalan sejajar. Dalam perkiraan jumlah produksi padi yang dilansir pada laman resmi Kementrian Pertanian, jumlah produksi beras nasional diperkirakan akan melimpah pada tahun 2019. Hal ini berdasarkan pengamatan pada faktor penentu peningkatan provitas yang dinilai terpenuhi tahun 2019 ini.
Tiga faktor tersebut salah satunya meliputi faktor lingkungan, yang tidak terlepas dari peran berbagai lapisan para pebisnis maupun pemerintah dan pihak lainnya, seperti komunitas dan masyarakat. Selain pula faktor dari penggunaan berbagai varietas unggul yang memiliki potensi hasil tinggi yang telah teruji oleh para petani Indonesia melalui aspek genetik dan perbaikan cara pengolahan dalam sistem penanganan irigasinya.
Di tahun 2018 sendiri tercatat beberapa kali terjadi kekeringan, hal ini terjadi karena cuaca yang tidak menentu dan akhirnya berakibat pada jumlah produksi bahan pangan karena tanaman tidak mendapatkan suplai air yang cukup. Hal ini sebagai akibat dari sistem pengairan atau irigasi yang tidak diantisipasi akan terjadinya musim kekeringan atau bencana kemarau panjang tersebut. Dalam praktiknya, irigasi sendiri merupakan usaha penyediaan dan pengaturan pasokan air untuk menunjang berlangsungnya proses pertanian.
Irigasi memiliki beragam jenis meliputi irigasi permukaan, irigasi curah, irigasi mikro, dan irigasi bawah permukaan. Irigasi sendiri bertujuan sebagai upaya rekayasa teknis pengelolaan sumber daya air agar terdistribusi secara sistematis agar produksi dari lahan tersebut mencapai titik optimalnya, bahkan ketika iklim sedang tidak bersahabat dengan pola penanaman organik.
Namun, untuk melakukan pengoptimalisasian terhadap praktik rekayasa teknis pendistribusian air tersebut, tentu saja harus dilakukan perencanaan maksimal dalam pembangunan infrastukturnya. Untuk itu, Indonesia menghadirkan sebuah realisasi dari wacana lama terkait instrumen efek yang bersifat utang dengan wawasan lingkungan atau yang lebih dikenal sebagai Green Bonds.
Green Bonds sendiri baru diterapkan pertama kali di Asia oleh Indonesia, yang mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan pebisnis. Salah satunya adalah PT Sarana Multi Infrastuktur yang menjadi emiten pertama di Indonesia yang menerbitkan Green Bond sebagai bagian dari Penawaran Umum Berkelanjutan senilai Rp. 3 triliun dengan emisi sebesar Rp. 500 miliar pada Tahap I tahun 2018.
PT. SMI turut beserta investor dan stakeholder lainnya dalam keberlangsungan pembangunan beragam sektor, salah satunya terkait dengan pembangunan insfraktruktur untuk pengelolaan air bersih yang dapat memberikan titik optimal pengolahan lahan pertanian. Hal ini akan menjadikan pergeseran pada tren publik dalam perdagangan efek di Indonesia tentunya, yang akan menjadikan Green Bond sebagai tren terbaru paling komprehensif yang mengatur terkait kepedulian atas dampak sosial dan juga lingkungan.
Dengan adanya penambahan jenis efek dari Otoritas Jasa Keuangan ini yang dinilai akan menjadi tren nasional—mengikuti tren internasional yang mulai kembali pada alam—diharapkan mampu mewujudkan kestabilan pangan dan mengurangi ketimpangan kemiskinan karena bahan pangan memiliki nilai surplus yang jauh lebih besar, sehingga Indonesia tidak perlu lagi melakukan impor beras. Hal tersebut dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan juga para petani yang akan semakin membaik.
Artikel ini dibuat dalam rangka Lomba Blog bersama PT. SMI