Cerpen Finaira – Sebait Lagu Cinta

Amelia begitulah teman-teman sering memanggilku. Bisa dibilang aku siswi yang hidup di sekolah dengan hari yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa, semua berjalan dengan normal dan apa adanya. Tidak banyak yang mengenalku di sekolah, mungkin di kelas dan klub seni yang mengenalku. Meskipun beberapa teman klub seni bilang, bahwa aku terkenal di sekolah. Setelah kegiatan eksibisi seni di awal semester satu, beberapa bulan lalu. Tapi aku tidak merasakan jika aku dikenal di sekolahku. Karena tidak ada yang menyapaku ketika aku berjalan di koridor atau di kantin.

“Rapat pembagian tugas gebyar Bulan Bahasa jam berapa?” tanya salah seorang teman satu kelasku, Tika. Gadis berparas ayu yang ada di klub seni pula.

“Sepulang sekolah,” jawabku singkat.

Aku tidak pernah bicara panjang lebar di mana pun aku berada tentang apa dan siapa serta bagaimana diriku. Aku tak acuh dengan kondisi dan suasana kelas serta teman-temanku. Aku tidak terlalu peduli dengan lingkunganku. Mungkin karena ketidakpedulianku itu yang membuat aku tidak menyadari bahwa kata mereka aku terkenal di sekolah. Pelajaran dimulai, lalu berakhir tanpa terucap satu kata pun dari mulutku. Meskipun teman-teman di kelas ramai karena jam kosong, senang karena guru tidak hadir, berteriak ketika pengumuman libur dan berlari ke kantin saat jam istirahat atau bergegas keluar kelas saat bel pulang. Aku tetap setia dengan diamku.

Seperti kibasan angin, jam-jam pelajaran berlalu lebih singkat terasa. Tak perlu menunggu lama, aku berjalan ke aula untuk pembagian tugas di acara Gebyar Bulan Bahasa. Acara yang selalu ada setiap tahun untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda. Teman-teman satu kelasku mulai duduk berpencar di tempat yang mereka suka, bagian belakang. Aku tidak akan bisa mendengar pengumuman dengan jelas kalau aku tidak di depan. Aku melirik ke bagian barisan kursi terdepan, ada satu kursi di ujung. Aku duduk di sebelah cowok dengan badge berwarna merah bertuliskan XI, kakak kelasku. Sepertinya dia orang yang tak acuh dengan keadaan.

Aku duduk dan membuka catatan. Lalu seorang gadis berambut tipis, panjang, berdiri di depan dengan beberapa orang lainnya membacakan daftar kelompok.

“Kelompok konsep dekorasi, Arka dibantu sama Amelia dari klub seni.”

Cowok di sebelahku tangannya bergetar, dia terlihat gugup, lalu pena yang dipegangnya jatuh. Aku hanya melihatnya memungut pena itu yang terjatuh di dekat kakiku. Aku hanya menggelengkan kepala. Pembagian tugas di aula selesai, aku mendapat kelompok dengan seorang cowok yang bahkan aku tidak pernah mendengar namanya. Mungkin namaku juga tidak pernah didengar oleh orang yang satu kelompok denganku. Aku merasa kalau aku akan menjadi orang yang tidak digubris dan hanya ditungu idenya. Ternyata dugaanku salah besar.

Aku duduk di gazebo sekolah dengan beberapa tim lain, aku duduk sendiri karena tidak mengenal siapa cowok yang satu kelompok denganku.

“Aku Arka, kamu?” sapa cowok yang tadi duduk di sampingku saat rapat besar pembagian tugas, dia duduk di sampingku.

“Amelia,” jawabku singkat.

“Kamu, jangan canggung ya kalau punya ide. Meskipun kamu masih kelas 10. Aku dengar kamu luar biasa di bidang seni. Aku juga sudah lihat lukisan kamu yang ada di eksibisi awal semester lalu. Oh ya, kita satu tim. Aku juga sering lihat lukisan kamu di galeri-galeri lukisan terkenal. Bahkan sampai ada yang dibeli Kaisar Korea yang terkenal selektif dalam lukisan,” ucapnya dengan senyuman ramah di wajah, senyumannya seperti membangkitkan sesuatu di dalam hatiku.

Hatiku menghangat. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

“Maaf, jadi keterusan ngomongnya. Mohon kerjasamanya ya, Amel?”

Aku tidak menjawabnya lagi, aku hanya mengangguk lalu tersenyum. Ia tersenyum. Dia berkata kalau dia melihat lukisanku di eksibisi, dia juga tahu banyak tentangku, dia mengingatku. Hatiku menghangat dengan kalimatnya yang tidak kunjung berhenti saat bicara tentangku. Desir-desir indah tersapu angin meresap dalam setiap ruang dalam gumpalan darah merah yang kini berubah menjadi merah jambu. Dia terlihat manis dengan senyuman di mataku. Apalagi saat ia menatapku dengan matanya yang sendu, tatapannya melelehkan dinding es yang menyelimuti hatiku. Aku lebih banyak mengonsumsi dosis senyumanku hari ini, aku lebih banyak tersenyum. Karena dia.

Seorang gadis yang tadi mengumumkan tim di depan ruangan, menghampiri kami. Ia datang mendekat dengan wajah yang berseri namun matanya tidak menyorotkan kebahagiaan. Ia melirik tajam ke arahku lalu menarik tangan Arka.

“Arka, aku mau ngomong sama kamu.”

Gadis itu menggandeng mesra lengan Arka. Darahku serasa berhenti mengalir. Air bening yang lama terbendung di kelopak mataku serasa ingin memberontak keluar dan menetes. Aku menahannya.
Apa yang salah denganku?
Apa yang terjadi?
Tiba-tiba sebuah hempasan angin menyapu wajahku, mendinginkan semua semu merah di pipiku, semua kehangatan yang baru kurasa. Seakan duniaku kembali membeku dengan angin yang datang lebih dingin dari udara di Kutub Utara. Dinding es di hatiku kembali berdiri kokoh, semakin kuat, namun kini tidak ada lagi yang dilindunginya. Gumpalan darah merah di dalamnya kini mengeras, mengering, tak menjadi merah seperti sebelumnya.
Abu-abu.

Bodoh. Orang seramah Kak Arka pasti sudah punya kekasih,” ucapku lirih, mungkin hanya terdengar seperti gumaman oleh beberapa siswa yang duduk di gazebo juga sore itu.

Aku menyelesaikan konsep dekorasi untuk sepanjang jalan menuju panggung dari gerbang. Aku menggambar semua konsep yang ada di kepalaku, aku menuliskan beberapa keterangan juga. Aku menyatukan semua gambarku dengan klip, lalu aku letakan di bawah botol minuman milik Kak Arka. Aku berdiri dan berjalan ke toilet untuk meredakan emosiku yang mendadak terguncang. Aku berjalan menyusuri koridor, melihat Kak Arka dan gadis itu duduk di sebuah kursi panjang yang ada di belakang aula. Gadis itu menggenggam tangan Kak Arka dan beberapa kali mengelus punggung tangan Kak Arka.

Darahku mendadak mendidih kembali. Tapi aku tidak mengacuhkannya, kuniatkan untuk kembali dingin dan membeku. Kurasa itu yang terbaik untukku melindungi diriku, lagi.
Aku kembali ke gazebo, aku sudah melihat Kak Arka duduk di tempatnya semula. Dengan tangan yang memegang kertas gambarku tadi, wajahnya dihiasi senyuman. Aku tak tergoda dengan senyumannya lagi seperti sebelumnya.

“Amel? Kamu selesaikan semuanya sendiri?”

Suaranya menyambutku, aku hanya mengangguk dan duduk di ujung diagonal tempat Kak Arka duduk. Dia mungkin merasa aneh, dia menghampiriku dengan membawa semua kertas-kertas dan alat tulis milikku. Aku masih diam.

“Kamu kenapa, Amel?” Aku menoleh kepadanya dengan mengerutkan kening, “Maksudku … kenapa kamu selesaikan sendiri tugas kita? Kan aku jadi nggak ngapa-ngapain? Tapi hasilnya keren loh, Mel. Aku suka banget sama ide kamu,” ucapnya panjang lebar dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mmm, kakak boleh ubah atau tambah sama konsep kakak. Aku duluan,” ucapku dengan nada datar tanpa ekspresi. Aku mengemasi beberapa alat tulisku.

“Mau kemana? Kok buru-buru?”

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku terus berlalu. Mungkin dia merasa aneh denganku yang sebelumnya tersenyum. Tapi kini tidak ada satu mili pun bibirku tertarik untuk tersenyum.

Esoknya, aku ditugasi membawa banner dari ruang panitia ke lapangan untuk segera dipasang. Aku membawa tumpukan banner itu, lipatan-lipatan banner ini hampir membuatku terjatuh saat pertama kali mengangkatnya. Aku berjalan perlahan demi menjaga keseimbanganku dan agar tumpukan itu tidak jatuh. Entah terlalu berat atau aku yang terlalu lelah. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Karena tidak bisa melihat jalan, kakiku terantuk anak tangga pertama. Semua tumpukan banner itu jatuh dan berantakan. Aku berdecak kesal dan mulai memunguti satu-persatu.

“Dasar ceroboh!” kata Kak Arka yang tiba-tiba muncul di hadapanku dengan membantu memunguti banner-banner itu, “jangan sok kuat,” ucapnya telak mengenai ulu hatiku, aku tersentak.

Ya.

Kak Arka benar, aku selalu diam dengan permasalahan di sekelilingku. Aku selalu mengambil alih pekerjaan orang lain yang tidak bisa mereka selesaikan. Aku selalu membantu orang lain tanpa berpikir bahwa itu merepotkan untukku. Aku masih diam. Mencoba meneroka apa yang telah kulakukan selama ini? Diamku hanya suatu upaya mengatasi kelemahanku.

Aku terkejut dari lamunanku saat Kak Arka memegang lenganku.

“Siku kamu berdarah.”

Kak Arka mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Ia mengikatkan sapu tangan itu ke sikuku. Kak Arka mengangkat semua banner yang aku bawa tadi. Aku hanya diam melihat Kak Arka mengangkatnya.

Hari ini aku mengerjakan beberapa dekorasi sepanjang jalan menuju panggung. Tentu dibantu oleh panitia lain dan Kak Arka yang satu tim denganku. Aku terkejut, ketika menyadari bahwa Kak Arka tidak mengubah konsep dariku. Beberapa bagian ditambah dengan aksesori dan warna lebih detail, karena aku menggambarnya dalam sketsa. Lebih terkejutnya lagi, aksesori detail itu di luar ekspektasiku. Namun, kesannya seperti melengkapi dan memperindah konsep dariku. Aku sengaja pulang malam hari ini, karena acara akan berlangsung besok. Dekorasi pun sudah selesai, hanya perlu menambah beberapa hal di dekat panggung.

“Kamu pulang sama siapa, dik?” tanya Kak Arka padaku yang masih merapikan barang-barangku.

“Dijemput,” jawabku masih tanpa ekspresi.

“Aku antar ya? Daripada menunggu. Sudah malam, ayo?”

“Nggak usah,” ucapku yang entah kenapa menjadi begitu sensi.

“Oh iya sudah, aku ke lapangan dulu. Hati-hati di jalan, ya?”

Aku melihat Kak Arka mengusap tengkuknya, kemudian berlalu keluar dari kelas yang dijadikan ruang panitia. Aku menggelengkan kepala. Bingung dengan Kak Arka yang rasanya seperti ia tengah mencoba dekat denganku.

“Jarang banget lihat Arka kayak gitu?”

Samar-samar aku mendengar ucapan kakak kelasku yang masih ada di ruangan. Aku tidak berniat mendengarkannya, namun aku harus mendengar. Karena rupanya mereka bermaksud membuatku mendengar pembicaraan mereka.

“Iya, si Arka kan jarang banget ngomong. Apalagi sama cewek,” sahut kakak kelasku yang lain.

“Akhir-akhir ini, Arka jadi sering banget senyum. Sering ngomong. Padahal biasanya? Jangankan senyum selebar itu. Ketemu teman satu kelas juga bakal diam.”

“Dia jatuh cinta mungkin. Kamu nggak ingat waktu pelajaran Antropologi, kalau orang bisa berubah saat jatuh cinta?”

Hatiku tersentak, aku harus segera menyudahi pendengaranku sebelum hatiku meleleh. Aku hanya menunduk memikirkan kata-kata kakak kelasku tadi. Aku memikirkannya, hingga aku tidak menyadari kalau aku telah menghabiskan waktu tidurku malam ini untuk hanya memikirkannya.

Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan gelisah, karena perkataan kakak kelasku kemarin dan lelah karena tidak tidur semalaman. Aku merasa lelah dan sangat lusuh. Banyak siswa sudah berada di sekitar panggung. Ada yang memilih beberapa makanan di bazzar. Ada yang menulis catatan kecil yang akan ditempelkan di sebuah papan. Sama sepertiku. Acara Bulan Bahasa sudah dibuka oleh pembawa acara. Sejak aku datang dan berjalan mengitari panggung, aku belum melihat sosok manis dengan senyuman dan sorot mata yang memesona itu, Kak Arka.

Aku tidak memedulikan apa yang terjadi di panggung. Aku menuliskan beberapa kata di kertas kecil itu. Meskipun di panggung acara berlangsung meriah, aku merasa sepi. Sampai ada satu band pembuka yang mampu membuatku tercengang mendengar kata-kata vokalist-nya sebelum lagu didendangkan.

“Lagu ini, saya persembahkan untuk seniman di ujung sana … Amelia.”

Aku tak mengindahkannya. Namun pada saat namaku disebutkan di ujung kalimat itu. Aku tercengang. Aku menoleh ke panggung seketika.

Aku terkejut mendapati seseorang yang sejak tadi aku cari dengan sorot mata dan senyuman yang memesona itu tengah duduk di panggung dengan gitar di pangkuan dan mik di depannya. Orang-orang di sekitarku melirikku, aku tidak menggubrisnya. Lagunya hangat mengalir menyusup ke setiap aliran darahku. Nada merdunya terbawa angin dan merangkul oksigen yang terhirup oleh hidungku, memenuhi paru-paruku, lalu terbenam ke seluruh tubuhku.

Senyumannya yang hangat terasa lebih hangat dari sinar mentari, mampu melelehkan dinding es yang menyelimuti hatiku secepat kilat. Perlahan suara merdunya menyapa diamku. Nada-nada indah yang menciptakan harmoni yang mampu menarik seutas seyuman di bibirku yang sudah lama membeku, membelaiku dengan kelembutannya, menuntaskan segala kisah yang tidak sempat terselesaikan, menjawab segala pertanyaan yang belum terpikir untuk terjawab dan menyelimuti hatiku bersama debarannya dengan kehangatan.

Lagu itu terus mengalun, semua perasaannya tersampaikan melalui setiap petikan gitarnya. Aku masih tercengang dan berkutat dengan pikiran serta ketakjubanku. Apa yang dia lakukan padaku? Dia mengubah duniaku yang telah aku bangun selama bertahu-tahun dalam waktu tiga hari. Dia menyihir mataku untuk tidak berpaling darinya, dia membuat pikiranku hanya tertuju padanya, dia memenuhi ruang hatiku agar tiada tempat yang tiada dirinya, dia berdiri di hadapanku, dia di depan mataku.

Seolah nada yang beralun membuat siluet dirinya di hadapanku. Aku terkejut saat dia mengambil kertas yang aku tulis di tanganku. Dia tersenyum setelah membaca milikku. Lalu mengambil kertas kecil dengan warna yang berbeda dariku. Dia mulai menulis sesuatu di sana. Aku masih terdiam dengan apa yang terjadi padaku. Dia sudah menempelkan dua kertas kecil itu di papan.

“Amelia.”

Dia menyebut namaku, namun aku masih terpaku dan seakan bibirku membeku dengan membentuk senyuman. Mungkin dia akan berpikir bahwa aku terpesona olehnya. Dia benar.

“Amelia.”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali mencoba menguasai diriku

“Ya?” jawabku cepat. Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku.

“Aku sayang kamu,” ucapnya membuatku yang baru saja tersadar, kini kembali melayang seakan aku terbang mengitari galaksi bimasakti dan melesat jauh ke planet pluto lalu kembali ke tempat aku berpijak saat dia mengulangi perkataannya, “Aku sayang kamu, Amelia.”

Dia tersenyum di hadapanku, lalu menunjuk kertas yang sudah tertempel di papan. Di kelilingi dengan kertas-kertas kecil lain yang ditulis oleh orang lain. Aku membaca milikku sekali lagi.

What can i do?

Lalu aku membaca sebuah catatan di samping catatanku.

Kamu tidak perlu melakukan apapun. Aku yang akan melakukan segalanya untukmu.

Aku tersenyum.

“Kamu jangan senyum aja dong, aku bisa diabetes lihat senyum kamu.”

Aku menahan tawaku mendengarkan kalimatnya. Kemudian dia mengusap puncak kepalaku. Dengan senyuman yang memesona, dia menatap mataku dalam.

“Tersenyumlah untuk segala hal yang sederhana, supaya aku tahu kamu sedang bahagia, supaya dunia melihat keindahan senyuman kamu. Jika kamu tak bisa menjawab pertanyaan tentang dirimu, aku yang akan menjawabnya. Supaya dunia ini tahu, betapa berharga suara kamu. Jika kamu bersedih, aku yang akan menanggung kesedihannya. Supaya dunia tahu, betapa bahagianya kamu. Jika kamu ingin menangis, menangislah di dadaku. Supaya dunia tahu, betapa aku ingin melindungi kamu. Kamu cukup ada di sampingku, hidup bersamaku, dan tersenyumlah. Aku yang akan melakukan segalanya. Aku akan melakukan yang terbaik untuk kamu. Karena aku sudah memperhatikan kamu, mencintai kamu, dan mengharapkan kamu. Aku sayang kamu. Keindahanku.”

Dia berkata panjang lebar dan kalimatnya membuatku meneteskan airmata tanpa kusadari. Dia menghapus airmataku dengan tangannya. Lalu tersenyum.

“Kak?” ucapku lirih.

“Ya?” jawabnya masih dengan senyumannya.

“Jangan kebanyakan senyum.” Dia mengerutkan keningnya. “Aku bisa membisu,” ucapku sambil menunduk menahan malu, lalu dia tertawa karena melihat pipiku yang memerah. Dia mencubit pipiku gemas yang membuat pipiku semakin memerah karenanya.

“Tapi aku suka. Segalanya tentang kamu.”

Kalimatnya membuatku semakin gugup, lalu aku berjongkok seketika. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku. Kak Arka terkejut lalu ikut berjongkok di depanku.

“Eh! Kamu kenapa?” Nadanya khawatir.

“Aku malu,” jawabku lirih.

“Iya deh, iya. Nih, aku nggak senyum. Arka sudah seperti biasanya, Arka yang tanpa senyuman, kaku, cuek dan Arka yang selalu melihat kamu dari kejauhan, mencaritahu segalanya tentang kamu, dan Arka yang selalu berharap bisa dekat dengan kamu. Jadi gimana?”

“Apanya?” Aku masih menutup wajahku.

“Mau jadi pacar aku?”

“Harus pacaran, ya?” tanyaku.

“Oh! Kamu nggak mau pacaran dulu? Langsung ke KUA, nih? Memangnya kamu sudah punya KTP? Belum 17 tahun, kan? Sabar, ya? Kak Arka siapin maharnya dulu,” ucapnya sembari menepuk-nepuk pelan kepalaku, membuatku terkejut lalu mencubit perutnya gemas.

“Kaaakkaaakkk!”

“Pipi kamu merah, tuh!” ejeknya membuatku menutup pipi dengan kedua tanganku, lagi. Kemudian Kak Arka menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang lembut.

“Itu jawaban kamu, kamu boleh menjawab apapun. Aku akan mendengarnya, karena aku selalu mendengarkan kamu.”

Aku berdiri dan mengambil sebuah kertas kecil dengan warna yang berbeda dari milikku tadi. Kak Arka berdiri melihat apa yang akan aku tulis, namun aku menyuruhnya menjauh.

“Jawabannya aku tulis di sini, tapi bacanya setelah aku jawab secara lisan.”

“Baiklah. Kalau itu kehendak Tuan Putri.”

Dia tersenyum dan membalikan badannya, memunggungiku. Aku menuliskan sebuah kalimat, lalu menempelkan di dekat miliknya. Lalu aku berdiri di hadapannya.

“Aku menolak,” ucapku singkat, lalu berjalan pelan menjauhi dia. Dia tampak lesu memandangi punggungku. Dia menoleh ke arah papan dan melihat secarik kertas yang aku tulis untuknya.

Sekejap dia tersenyum dengan mata berbinar, lalu berlari menyusulku. Sementara aku sudah berlari menjauhinya yang mengejarku. Lalu kami tertawa di bawah dream catcher warna-warni yang tergantung sepanjang jalan menuju panggung. Hatiku menghangat, dengan senyumannya, dengan segala hal yang ia lakukan, dengan suaranya, dengan adanya dirinya.

Aku menolak hidup di dunia yang tiada dirimu.

Maka aku akan tercipta jika itu karenamu, Amelia, yang demi dirimu burung mengicaukan sebait lagu cinta setiap pagi.


Pernah diterbitkan dalam antologi bersama tahun 2017

Finaira Kara

Finaira Kara adalah seorang blogger yang suka menulis fiksi dan masih aktif menulis novel di beberapa platform. Semoga kalian semua senang membaca tulisanku ya.! KAMSAHAMNIDA ;)

One thought on “Cerpen Finaira – Sebait Lagu Cinta

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Tenangkan Dirimu, Yuk Kajian Online Di Rumah Aja Bareng MGI TV
Previous Post Tenangkan Dirimu, Yuk Kajian Online Di Rumah Aja Bareng MGI TV
Next Post Dirumah Aja Versi Introvert, No More Insecure! Rapid Test Halodoc Bisa Diandalkan