Cerpen – Bagong

Cerpen – Bagong

Manusia yang sejak kecil hanya ada di negaranya, benuanya atau dunianya tidak akan pernah tahu apakah ada kehidupan lain di luar bumi yang mereka tinggali ini. Kita tidak pernah tahu apakah ada “manusia” lain di alam semesta yang begitu luas ini. Bisa saja ada kehidupan terorganisir lain yang lebih brutal atau bahkan jauh lebih maju daripada apa yang ada di bumi. Mungkin saja makhluk-makhluk itu telah lama mengamati bumi karena rasa penasaran mereka tentang makhluk di dalamnya. Ya! Kita! Mungkin mereka telah menyamar dan berbaur di antara kita atau di antara para hewan atau tumbuhan.

Ia adalah makhluk dari planet yang sangat jauh dari bumi, di luar Bima Sakti. Tugas dari kaumnya telah memberikan kesempatan padanya untuk mengamati kehidupan manusia. Turun dari pesawat luar angkasanya di daerah yang sangat hijau dan berbukit-bukit dengan tanpa busana karena dunianya tidak mengenal hal tersebut. Bahkan mereka tidak berkomunikasi lewat mulut meskipun mereka memiliki mulut dan telinga. Tak ada nama, tak ada identitas, bahkan tak ada kebohongan ataupun kejahatan. Dunianya adalah dunia hening yang sangat modern dan damai, dunia yang sangat didambakan setiap orang di Bumi.

“Makhluk ini sepertiku, tapi kenapa kepalanya kuning, badannya merah dan kakinya hitam. Hanya wajahnya yang berwarna sama denganku.” Begitulah pikir si Alien, ketika melihat seorang petani berbaju merah, bercelana hitam dan bertopi kuning.

Ia mendekat dan mengamati si Petani. Si Petani terheran melihat seseorang yang memperhatikannya dari dekat tanpa mengenakan busana, hanya kalung dengan liontin batu berkedip-kedip, batu yang sangat indah dan menarik. Si Petani begitu tertarik dengan kalung itu sehingga ia langsung mengambilnya lantas kabur dengan cepatnya tanpa bisa dikejar oleh Si Alien. Kalung itu adalah satu-satunya kunci mesin pesawat yang ia kendarai ke bumi, tanpa benda itu, ia tak bisa kembali ke planetnya.

Sendirian, tanpa kawan, sahabat atau saudara di dunia asing tanpa bisa bertanya kepada siapapun. Ia memperhatikan bagaimana manusia menutupi tubuhnya dengan busana sehingga ia melakukannya juga untuk membaur. Selanjutnya, ia memutuskan untuk pergi ke arah pencuri kalungnya tadi dengan kondisi tubuh yang telah melemah, fokus yang sudah berkurang dan tanpa ada pengetahuan tentang tempat yang ia pijak sekarang. Badannya hampir jatuh ketika ia telah sampai pada tempat dengan tanah yang telah berganti aspal dan ramai dengan kendaraan manusia Bumi.

Beberapa orang meneriaki Si Alien karena berjalan terlalu ke tengah jalan raya.

“Bagong Sia! Bagong Sia! (Gila kamu! Gila kamu!)”

As’ad yang merupakan seorang sopir mobil pick-up asal Sumedang yang sedang menuju ke Tanjung Priuk sedang asik berkendara sambil mendengarkan radio favoritnya. Ia tak memperhatikan ada seseorang yang sedang berjalan agak menengah di jalan raya. Akhirnya karena ketidakawasannya, tertabraklah si Alien sampai tak sadarkan diri. As’ad membawanya ke bidan terdekat.

Setelah ia sadar, Si Bidan bingung karena si pasien mendengar suara tapi tak merespon suara tersebut, seperti ada yang membuat otaknya terganggu. Akhirnya As’ad membawa si  Alien ke rumahnya untuk dirawat sampai ingatannya kembali pikirnya. Padahal yang ia bawa adalah alien yang tidak mengerti bahasa manusia, bukan amnesia.

Beberapa hari berlalu, tetapi si Alien yang bahkan tak punya nama itu masih saja diam tanpa merespon perkataan apapun. Akhirnya si Alien sadar kalau ia tak boleh terus seperti ini, setidaknya dia harus bisa berkomunikasi dengan penduduk Bumi, yang berarti ia harus mencari sebuah tangan untuk ia serap ilmu orangnya. Setiap makhluk hidup memang diberkati kemampuan adaptasi.

Ia melihat As’ad menggandeng tangan anaknya. Melihat peluang untuk bisa menyerap pengetahuan penduduk Bumi, ia lantas memegang tangan As’ad.

Sontak As’ad berteriak, “oooyyy!! Bagong sia!? Kalau mau ikut jalan-jalan bersama, gandeng Alya, jangan abdi!” kata As’ad seraya menggandengkan tangan Alya yang masih 7 tahun itu kepada Si Alien. Sebuah kesempatan belajar telah tiba, tanpa mau menunggu lama, Si Alien langsung menyerap semua ilmu Alya yang masih 7 tahun itu sambil berjalan-jalan di jalan Kampung Cianteng tempat tinggal As’ad dan keluarganya.

Di perjalanan, Si Alien akhirnya dapat berbicara seperti manusia bumi setelah menyerap ilmu dari tangan Alya, meskipun masih terbatas karena pengalaman Alya yang masih sangat sedikit di usianya yang masih begitu muda tapi itu cukup untuk mengenalkan diri pada As’ad dan meminta padanya untuk membatu mencari kalung yang telah dicuri tadi.

Awalnya As’ad tidak percaya, tapi setelah Si Alien membuktikan dengan bercerita tentang masa kecil Alya secara detail, barulah As’ad percaya.

“Baiklah, aku akan membantumu, tapi seraplah dulu pengetahuanku agar pencarian ini lebih mudah,” kata As’ad seraya memberikan tangannya.

As’ad menanyakan nama Alien itu, ia menjelasakan bahwasanya di dunianya penduduknya tidak membutuhkan nama. Wajah adalah identitas karena komunikasi mereka hanya melalui tangan bukan melalui bahasa verbal seperti penduduk Bumi. Sehingga mereka tak membutuhkan panggilan ataupun nama.

“Berarti kamu sekarang harus punya nama, karena kamu di Bumi” kata As’ad. Alien itu menatap As’ad bingung.

“Bagaimana dengan ‘Bagong’ (gila), aku sering dipanggil seperti itu dari awal aku ke sini.” Alien itu berkata dengan wajah polosnya.

Sambil tertawa As’ad berkata, “terserahlah apa katamu.”

Baca juga: Resensi Novel Kumala Pusaka Kasih

Setelah kejadian itu, Bagong menceritakan semua ciri-ciri pencuri kalung tersebut secara detail. Setelah mencatat semua ciri  ini, mereka menuju kantor Polisi untuk melaporkan kehilangan itu. Polisi hanya tertawa kecil mendengar laporan Bagong yang dianggapnya sangat lucu karena baru kali ini ada orang yang melaporkan kehilangan kalung dengan liontin batu yang bukan emas, perak, berlian, mutiara atau bahkan batu bacan yang ketika itu sedang naik daun di Indonesia.

Bukannya menganggap laporan itu serius, Si Polisi malah menawari kalung liontin bacan dan cincin batu akik beraneka ragam. Polisi itu menjelaskan banyak sekali manfaat dari batu-batu yang ia perlihatkan sesuai kepercayaannya terhadap seorang dukun. As’ad marah kepada Polisi itu, tapi Bagong malah mengamati batu-batu itu dengan rasa tertarik yang hebat karena tidak ada hal-hal seperti itu di planetnya, pemanfaatan bahan alam hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat keilmuwan bukannya sebagai aksesoris seperti di Bumi.

Polisi itu memberikan informasi bahwasanya ada seorang pemasok batu-batu indah di desa sebelah.

“Namanya Pak Anjas pak, beliau mengumpulkan batu-batu indah dari hampir seluruh dunia, kalau batu Bapak sangat menarik, mungkin pencurinya akan menuju Pak Anjay untuk menjualnya. Coba ke sana untuk menanyakan kepada Pak Anjay apakah ada batu yang Bapak maksud di rumahnya.” Bagong dan As’ad saling memandang, mengartikan mereka sependapat untuk langsung meluncur ke desa sebelah.

Di perjalanan, As’ad terus saja bertanya kepada Bagong tentang segala hal, bagaimana penduduk di planetnya, apakah dia punya anak, kenapa memilih bumi sebagai obyek penelitian dan lain sebagainya dari pertanyaan penting sampai yang sangat tidak penting.

Dalam perjalanan, mereka menemui si pencuri kalung Bagong sedang memancing di pinggir sungai. Sontak As’ad mengajak Bagong untuk menangkap si pencuri kalung tersebut. Tetapi Bagong memiliki rencana yang bagus tanpa memerlukan tenaga yang banyak untuk berlari-lari mengejar si penjahat.

Baca juga: Finaira Mendongeng: Kupu-kupu Cantik yang Sombong

“Saat aku menyerap pengetahuanmu, aku menyadari kalau masyarakat di daerah ini sangat memercayai klenik atau pamali dan lain sebagainya yang aku tidak begitu mengerti maksudnya. Begini saja kawan, temuilah dia, katakan kalau kamu adalah dukun yang sedang mencari mustika pembawa sial yang telah dicuri oleh seseorang. Katakan saja kamu mendapat penglihatan bahwa orang itu memiliki informasi tentang batu itu. Katakan bahwa sebelum orang itu, aku adalah pencuri batu itu, karena tidak mengindahkan peringatanmu. Akhirnya aku terus saja mendapatkan kesialan sampai sampai kehilangan semua harta dan tenagaku. Buat ia percaya, apalagi kamu memiliki rambut dan brewok keriting yang agak panjang ini. Pasti dia percaya, minimal kita tahu dimana keberadaan kalungku sekarang,” kata Bagong dengan senyumnya yang terlihat begitu jahil. As’ad terbahak mengiyakan.

As’ad berjalan dengan sedikit pincang kepada pencuri itu, dengan gaya yang agak seram ia berbicara agak lama dengan pencuri itu. Bagong hanya memperhatikan mereka berdua dari jauh setelah setengah jam pencuri tersebut berlari ketakutan sambil berteriak-teriak.

Baca juga: Analisis Puisi ‘UUD ‘45’’ Karya Taufik Ismail

As’ad kembali kepada Bagong dengan tertawa cekikikan tanda ia berhasil menipu pencuri itu. As’ad bercerita kalau tadi ia berkata bahwa batu curian itu akan membunuh keluarganya satu persatu kalau ia terlalu lama menyimpan batu tersebut. Bagong tertawa sangat keras mendengar hal tersebut. Akhirnya Bagong bertanya kepada As’ad kemanakah pencuri itu menjual kalung berliontin batu tersebut. Dengan senyum penuh makna, As’ad mengangkat sebuah kalung yang ternyata adalah kalung milik Bagong.

Ternyata pencuri tersebut belum menjual kalung tersebut. Akhirnya Bagong bisa kembali menghidupkan pesawat luar angkasanya dan kembali ke planetnya. Setelah melakukan salam perpisahan yang mengharukan dengan As’ad, istri dan Alya. Bagong akhirnya dapat kembali ke planetnya dengan selamat.


Ditulis oleh Rifqy Ulinnuha, Alumni Bahasa #2017 SMAN 1 Tumpang

Disunting oleh Finaira Kara

Finaira Kara

Finaira Kara adalah seorang blogger yang suka menulis fiksi dan masih aktif menulis novel di beberapa platform. Semoga kalian semua senang membaca tulisanku ya.! KAMSAHAMNIDA ;)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Jenis-jenis Majas dan Contohnya
Next Post Jenis-jenis Majas dan Contohnya