Finaira.id,- Anomali Cinta by Finaira. SEBUAH mobil van, berukuran cukup besar, berwarna hitam polos mengilat datang menghampiri seorang perempuan yang berdiri di depan pos satpam ujung gang pinggiran komplek perumahan. Mobil itu bergerak perlahan dan berhenti tepat di depannya. Rintik hujan di sore yang belum terlalu petang menggelap, mengguyur dua orang berseragam serupa dari dalam mobil.
Satu perempuan berambut panjang yang diatur bergelombang dan seorang pria berjambul rendah di sampingnya. Beberapa logo sebuah stasiun TV swasta terkenal tampak menghiasi seragam mereka. Lalu dua orang lagi dengan seragam yang sama, namun masing-masing memanggul kamera besar.
Keempat orang itu berlari dengan tangan diletakkan di atas kepala, melindungi dari hujan meski percuma, mendekati perempuan yang masih berdiri di tempat. Perempuan yang diam itu mengisyaratkan agar mereka bergerak lebih cepat. Karena hujan tampak turun lebih deras. Entah sebagai formalitas di pertemuan pertama atau memang ketiganya bersifat ramah, mereka saling melempar senyum. Lalu bersalaman—tidak termasuk dua pria yang menggendong kamera.
“Thalita, kan?” Perempuan itu mengangguk. Mereka tersenyum. Lagi dan lebih lebar dari sebelumnya.
“Oh, iya, aku Nayla.”
Dua perempuan itu saling berjabat tangan, terlihat erat.
“Dan ini Farel.” Ia mengenalkan pria berjambul rendah dengan mata menawan itu kepada Thalita. Pria itu menjabat tangan seperti yang dilakukan seorang perempuan di sampingnya, kepada Thalita.
Baca juga: Novel Finaira – Mengapa Cinta Harus Jatuh – Bagian Satu
Baca juga: Novel Finaira – Mengapa Cinta Harus Jatuh Bagian Dua
“Kita ngobrol di mobil saja, gimana? Ini hujan takut kameranya nggak berfungsi,” tanya si perempuan berwajah bulat dengan menunjuk dua kamera yang mengarah kepada mereka bertiga. Perempuan itu mengangguk lagi. Kemudian ketiganya berjalan beriringan dengan dua kamera besar tadi diarahkan mengikuti setiap gerak dan pidah. Si perempuan berwajah bulat masuk ke dalam van, disusul Thalita, lalu pria berjambul. Kemudian dua pria yang kerap disapa kameramen dalam jajaran kru TV.
“Jadi apa yang harus kita bantu buat kamu?”
Thalita menunduk sekilas lalu memandangi perempuan berambut panjang yang memulai pembicaraan. Kamera sudah menyala sejak tadi, karena ada sebuah lampu merah kecil yang berkedip- kedip di bagian atas tubuh kamera itu.
“Aku ingin tahu tentang dia. Sesuatu yang harusnya aku tahu. Hal yang mungkin nggak pernah bisa dikatakan sederhana, di dunia yang juga nggak sederhana. Hal apa yang membuat dia menjadi berubah?”
Kedua orang yang berada di samping kiri dan kanan Thalita memandangnya. Mereka memandang penuh kepada perempuan itu, entah benar-benar mengerti maksud kalimat klien mereka atau hanya berpura-pura. Sama seperti dunia kompleks yang selalu dipenuhi sandiwara.
“Kita langsung mulai pencarian sesuai rencana tim kami, atau … kamu sudah punya rencana sendiri?” tanya pria berjambul rendah di sebelah kiri Thalita. Ia berganti memandangnya. Lalu mengembuskan napas dan tampak berpikir. Entahlah, ia bingung. Kedua tangannya mengusap rambut bobnya yang sedikit basah karena hujan. Ia menggelengkan kepalanya tak mengerti, membuat rambutnya ikut bergoyang seiring dengan gerakan kepalanya.
“Sebenarnya … aku bingung.” Thalita terkekeh dan memandang mereka melas. Sangat berbeda dengan suasana hatinya yang berkecamuk dipenuhi pelbagai pertanyaan. Menyedihkan.
“Kalau gitu, kita langsung mulai pencarian. Nah, di perjalanan nanti, kamu bisa ceritakan lagi detail dari isi e-mail yang kamu kirim ke kami.” Thalita mengangguk mengiyakan saran dari pria berjambul. Farel kemudian melihat ke arahnya sekilas dan tersenyum manis. Selepas itu, ia memberikan instruksi ke seorang pria dengan seragam serupa yang duduk di balik kemudi.
Sementara Thalita hanya memandang berkeliling, melihat seorang pria yang memanggul kamera duduk di kursi bagian depan samping supir. Lalu seorang lagi, berjongkok menghadap ke arah mereka bertiga.
“Kita jalan sekarang.”
_finaira_
Baca juga: Novel Finaira – Mengapa Cinta Harus Jatuh Bagian Tiga
One thought on “Anomali Cinta by Finaira – Prolog”