UUD ‘45
Di negeri tempat pada yang serba sakti
Ada saja orang masih percaya
UUD ’45 sudah lama dilantik jadi semacam Dewa
Mata rabun menyangka dia memancarkan kesaktian
Dari dia mantera pembangunan digumamkan
Dalam paduan suara yang penuh keteraturan
Haram ada penjamahan, apalagi pelengkapan
Amanat dari penyusunnya dilupakan
Dia harus disempurnakan
Tapi dia jadi Kitab Steril yang dibebas-hamakan
Dia bahkan dinaikkan eselon jadi Tuhan
Kepadanya secara periodik sesajen dihidangkan
Anak-anak kecil sampai anak-anak berkumis dipertakut-takuti
Pikiran mereka dibekukan dan dibebalkan
Ketika 25 pelanggaran dilakukan terang-terangan*)
Laras pestol ke tengkuk oposisi ditodongkan
1998
*) Deliar Noer, 1995
Baca juga: Esai Kepenulisan by Finaira
Puisi ini merupakan buah karya Taufik Ismail yang dibukukan bersama 99 puisi lain karya beliau dalam MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia)
Dari puisi tersebut, dapat dianalisis sebagai berikut:
Struktur Fisik
Baca juga: Resensi Novel “Sabtu Bersama Bapak” Karya Adhitya Mulya
- Tipografi, bentuk puisi ini dapat dibilang berbeda dari puisi pada masanya. Puisi tersebut tersusun atas 16 baris tanpa terpisah oleh bait. Tiap barisnya pun disusun rata kiri. Selain itu, Taufik Ismail merupakan penyair puisi berbentuk esai.
- Diksi, meskipun hanya 16 baris. Namun, pemilihan kata yang digunakan terasa sangat menawan saat digabungkan dengan kata lain. Didominasi oleh kata-kata yang sering digunakan dalam bahasa sehari-hari. Namun, Taufik Ismail lebih memilih menggunakan kata ‘eselon’ daripada kata ‘pangkat’ demi menambah estetika puisi. Dan mungkin, tentu saja, penyair punya alasan tersendiri yang terkadang tidak dapat dipahami penginterpretasi atau pembaca puisi, makna dari penggunaan kata tersebut.
- Gaya bahasa, secara umum, Taufik Ismail menggunakan sindiran yang sebenarnya diungkapkan secara gamblang. Sebuah aturan perlu disempurnakan, bukan hanya diagungkan dan didewakan. Pencitraan dalam puisi tersebut terdapat beberapa pencitraan seperti penglihatan [mata rabun …] dan pendengaran [digumamkan dan paduan suara]
- Imaji, sebuah bayangan akan terlintas sistem pemerintahan Indonesia, yang tak seharusnya berjalan dengan tenang saat pilar utama negara belum disempurnakan. Pihak oposisi yang kebanyakan minoritas atau bahkan berjalan sendirian akan mendapat banyak hujatan dan tuduhan. Jadi, ia dianggap bersalah dan mendapat hukuman. Hal itu diungkapkan dalam kalimat terakhir puisi tersebut.
- Rima, puisi ini memiliki rima tak sempurna. Karena puisi ini termasuk dalam puisi kontemporer yang tidak terikat pada kaidah aturan rima dalam penulisan puisi.
Baca juga: Resensi Novel “Perahu Waktu” Karya Supaat I. Lathief
Struktur Batin
- Tema, puisi ini menggambarkan jika penyair tengah menyalurkan kritikan mengenai kekeliruan dalam pengaplikasian pilar kenegaraan. Dalam bidang sosial politik yang terasa jelas dalam puisi, jika apa yang seharusnya dilakukan untuk Indonesia, tidak dilakukan.
- Nada, rangkaian katanya dikuasai emosi yang tidak datar dengan bahasa yang tidak monoton.
- Rasa, kata-kata disampaikan penyair berupa kritikan pedas yang diungkapkan dalam sindiran dan perumpaan telak.
- Pesan, sebenarnya aturan itu harus disempurnakan sesuai dengan zaman. Bukan memihak zaman, tetapi memihak kebenaran dan disampaikan dengan cara yang mengikuti zaman. UUD bukan kitab suci yang sempurna. Artinya, dalam penyusunan perundang-undangan haruslah dinamis dan tidak kaku. Pelaksanaannya haruslah menyadari sifat UUD yang dapat diaplikasikan secara dinamis dan kooperatif bagi seluruh pihak.
Puisinya bagus, saya suka sama puisi puisi karya artikel di blog finaira 🙂